Posted in Cerita Hidup, kyky belajar, Sein Seit

Di Jalan Dakwah Mana Kamu Akan Mengambil Peran?

Ada sahabat yang berkata bahwa setiap orang yang hadir dalam hidup kita selalu memiliki peran,, kalau dia pergi, berarti perannya sudah selesai.. *sambil tarik nafas dalam

Disaat mengalami peristiwa diamnya seseorang yang membuat saya harus menghimpun sisa-sisa energi yang ada atas pengharapan suatu asa, ditengah-tengah kehectic-an persiapan festival saya di Sibu Serawak, saya putuskan untuk berhenti sejenak,, menurunkan nafsu makan,, menenangkan diri,, evaluasi diri di rumah murobbiyah yang pada saat ini baru saja melahirkan anak ke-4 ๐Ÿ˜ฑ *oh Rabb! Anak ke-4! Trus gue jd inget cita-cita pengen punya 5 anak,, lalu liat status,, lalu liat umur,, hmm ๐ŸŒš๐Ÿƒ๐Ÿƒ

Di jalan dakwah mana kamu akan mengambil peran? Ini menjadi pertanyaan sang murobbiyah saat saya mengutarakan ingin menikah dan bingung harus memulai dari mana. Sebuah keinginan yg lama saya simpan dalam doa dan melihat kondisi pribadi dan situasi keluarga,, jikapun belum terlaksana,, saya anggap itu takdir saja dan saya alihkan energi berlebih kecewa saya dengan berkarya.

Di jalan dakwah mana kamu akan mengambil peran? Setelah saya menyampaikan protes saya kenapa harus ada label tarbiyah dalam diri saya? Kenapa format proposal nikah yang saya terima seolah-olah dengan otomatis mendepak orang-orang yang bukan jalur tarbiyah. Padahal tarbiyah hanyalah sebuah media dalam mendalami ilmu agama. Kenapa terkesan eksklusif, padahal saya tidak pernah merasa eksklusif apalagi setelah pengalaman aktivitas saya yang selalu terdampar di lingkungan heterogen, bahkan cenderung minoritas. Protes ini saya ajukan kepada sahabat saya yang mengurusi perihal tarbiyah.

Di jalan dakwah manakah kamu akan mengambil peran? Sang Murobbiyah bercerita, Ibunda Asiyah mengambil peran dakwah sebagai istri seorang Raja,, meskipun Sang Raja tidak memiliki setitik keimanan di hatinya, akan tetapi Ibunda Asiyah punya keimanan yang lebih luas dari samudra. Ibunda Asiyah menikah dengan seorang Raja, dimana dia sadar penuh peran dakwah apa yang akan dia ambil dalam rumah tangganya. Siap dengan segala konsekuensinya,, menikmati setiap detik proses dakwahnya dengan menjalani peran sebagai seorang istri yang baik, bahkan suaranya pun berhasil meluluhkan hati keras sang raja, tatkala ibunda meminta Musa AS.

Mari kita lihat Ibunda Khadijah. Seorang saudagar kaya nan bergelimang harta. Meminta untuk dipinangkan dengan pemuda miskin bernama Muhammad SAW. Dengan kapasitasnya sebagai saudagar kaya, semestinya Ibunda dapat memiliki pasangan hidup yang sederajat. Namun dengan penuh keimanan, ibunda memilih Muhammad sebagai imam hidupnya. Ibunda Khadijah sadar betul, bahwa peran dakwah rumah tangga yang diambil tidaklah mudah, bahkan harus mengorbankan harta dan nyawa.

Satu kisah lagi diambil dari seorang istri Wakil Walikota yang sangat lembut hatinya. Beliau adalah seorang manager sukses di masanya. Memutuskan untuk menikah dengan seorang duda beranak 5. Tidaklah mudah bagi seorang wanita untuk mengambil peran sebagai ibu sambung, apalagi 5 anaknya. Tidak hanya memiliki kewajiban sebagai istri dalam pernikahan barunya, tetapi sekaligus sebagai ibu.. Mana ada tuh cerita bulan madu romantis bagi para pasangan pengantin baru yang tengah dimabuk cinta,, tetapi cinta menjadi sebuah kata kerja untuk membangun sakinnah mawaddah warrahmah. Ah, jadi ingat pertama kali main ke rumah dinas beliau nan megah.. Kalimat pertama yang terlontar dari beliau adalah “ini adalah aset rakyat, kita tidak boleh merasa memiliki.. Biar nanti kalau tidak menjabat lagi, hati kita rasanya ringan..” Begitu kurang lebih kalimat yang beliau sampaikan ke saya. ๐Ÿ˜Š

Di jalan dakwah manakah kamu akan mengambil peran? Sang murobbiyah punย memberi nasihat,, menikah adalah ranah dakwah,, menikah adalah peluang dakwah,, layaknya diri yang berkiprah di ranah minoritas, itulah ranah dakwahnya, itulah peluang dakwahnya.. Dakwah bukan berarti harus berceramah,, tetapi dakwah adalah memberikan contoh akhlaq terbaik kita kepada pasangan kita,, karena niat menikah adalah ibadah, bukan cinta semata. Sehingga ruang penerimaan menjadi besar,, memandang pasangan maupun calon pasangan bukan berarti hanya melihat kesesuaiannya saja dengan diri kita, tetapi lihat peluang kebaikan apa yang akan kita tuai,, peluang dakwah apa yang akan menjadi pendekat langkah kita menuju surganya Allah..

Jadi,, Di jalan dakwah manakah kamu akan mengambil peran, kyky? ๐Ÿ™ƒ